Jumat, 21 Oktober 2011

HARI PANGAN SEDUNIA

Ironi Di Negri Agraris

Setiap 16 Oktober, seluruh dunia memperingati Hari Pangan Sedunia, yang untuk tahun ini ditetapkan tema  ”Food Prices from Crisis to Stability”, sementara di tingkat nasional ditetapkan tema ìMenjaga Stabilitas Harga dan Akses Pangan Menuju Ketahanan Pangan Nasionalî. Tema-tema itu akan menjadi slogan kosong belaka apabila Indonesia tidak bergegas mengatasi ironi di negara yang mengklaim sebagai negeri agraris ini. Betapa tidak, dalam urusan pangan pun, tidak ada bahan pangan yang tidak diimpor ke negeri yang kaya sumber daya alam itu.

Indonesia rupanya termasuk negara pengimpor pangan terbesar dunia. Bahkan, singkong pun harus diimpor dari China dan Italia. Padahal, jangankan singkong, berbagai bahan pangan semestinya berlimpah-ruah dari tanah katulistiwa yang subur ini. Kenyataannya, impor pangan Indonesia mencapai Rp110 triliun per tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari-Juni 2011 saja Indonesia telah mengimpor singkong 4,73 juta ton. Semua bahan pangan impor, dari garam hingga buah-buahan, membanjiri Indonesia.

Jagung untuk pakan ternak pun terpaksa diimpor. Fakta itu sungguh sebuah ironi yang menyedihkan, apalagi dengan bangganya kita menyebut diri sebagai negeri agraris. Di negeri agraris, dengan mayoritas penduduknya memeras keringat di sektor pertanian, para petani itu justru semakin miskin dan dimiskinkan. Gempuran keras dari pangan impor tersebut sudah berada dalam situasi membahayakan ketahanan sosial-ekonomi masyarakat. Tanpa disadari, Indonesia terperangkap dalam kebijakan liberalisasi perdagangan pangan dunia.

Ketergantungan Indonesia terhadap produk impor makin tinggi. Indonesia harus mengimpor sekitar 600 ribu ekor sapi dari Australia, beras impor sebanyak 1,2 juta ton dari Thailand, atau kedelai 1,4 juta ton dari Amerika Serikat. Selain secara sistemik menggerogoti perekonomian, ketergantungan itu juga mengakibatkan Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan atau lonjakan harga pangan dunia.  Sebab, sebagian besar kelompok berpenghasilan rendah rata-rata menghabiskan 73 persen pendapatan untuk membeli kebutuhan pangan.


Liberalisasi itu membuat kita tidak memiliki kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Sektor pangan kita telah bergantung pada mekanisme pasar global. Namun, menuding liberalisasi sebagai ''kambing hitam'' persoalan pangan domestik tidak akan menyelesaikan persoalan karena sesungguhnya gempuran pangan impor juga sebagai akibat kelalaian pemerintah mempersiapkan diri  dengan memperkuat industri dan produksi pangan lokal. Dengan menyadari hal itu, kini saatnya Indonesia bangkit melawan pangan impor.

Petani-petani kita dengan kearifan lokal sebenarnya memiliki kemampuan luar biasa dalam produksi pertanian, Metode pengendalian hama terpadu misalnya, membuktikan bahwa petani memiliki daya kreatif untuk mengembangkan pengendalian hama secara biologis. Yang dibutuhkan saat ini adalah kebijakan yang memihak pada pertanian rakyat. Regulasi yang justru membuka kartel dan monopoli di sektor pangan harus direvisi. Pemerintah perlu total untuk menjadikan sektor pertanian sebagai industri yang kokoh dan modern berbasis teknologi.

Tidak ada komentar: